Penulis Dody M. menceritakan tentang kekayaan Kepulauan Banda di darat dan di laut, serta kendala akses transportasi di Kepulauan Banda.
Pada 2 Februari 2016, Majalah Peluang menerbitkan sebuah tulisan yang berjudul; Banda Neira Pusaran Sengketa Kolonial & Pembiaran Era Merdeka. Penulis Dody M. menceritakan tentang kekayaan sejarah Kepulauan Banda di darat dan kekayaan laut di Kepulauan Banda. Penulis juga bercerita tentang kendala akses transportasi di Kepulauan Banda.
Berikut ini tulisan yang yang dikutip dari situs Majalah Peluang: Banda Neira Pusaran Sengketa Kolonial & Pembiaran Era Merdeka
Para founding father negeri ini pernah diasingkan di sana. Berabad-abad sebelumnya, kolonial Eropa berlomba menancapkan hegemoni untuk menguasai rempah-rempah khas Banda: pala, selain cengkih. Sebagai destinasi wisata, kecamatan kepulauan di Maluku itu memiliki segalanya—kecuali akses transportasi.
Sepanjang abad ke-16 dan ke-17, Kepulauan Banda diperebutkan tiga negara Eropa: Spanyol, Portugis dan Inggris. Sengketa alot melalui moncong senjata pada berkesudahan dengan menangnya Belanda. VOC lalu memonopoli rempah pala. Banda Neira pun mendijadi pusat monopoli rempah pertama di Nusantara, hingga akhir abad ke-18. Dunia luar mengenal Banda setelah kehadiran anggota ekspedisi Portugis D’Abreau yang dikirim Albuquerque dari Malaka pada 1512.
Di Kecamatan Banda Neira seluas 180 km² itu hanya ada pala, cengkih, dan kenari. Di lautnya, kapal-kapal menancapkan jangkar dan memanen tuna, komoditas unggulan pulau ini. Melancong ke sini seperti menemukan wajah asing pelosok Indonesia tapi mempesona—jauh, romantis dan ringkih. Tempat yang sarat tinta sejarah negeri ini terabaikan terlunta-lunta. Berjalan di jalanan kota Banda Neira akan membuat anda merasa seperti sedang di Eropa.
Kecamatan yang berjarak 231 km dari Kota Ambon dan terdiri dari 18 negeri/desa ini mencakup 11 pulau. Tujuh di antaranya dihuni 22.500-an jiwa, yaitu Neira, Banda Besar, Ay, Rhun, Hatta, Sjahrir, dan Gunung Api. Pulau Rhun, menurut Des Alwi dalam buku Sejarah Banda Naira, adalah pulau terpenting di antara pulau-pulau lainnya di Banda. “Pulau inilah yang menjadi awal sengketa antara VOC dan Portugis, yang berlarut selama 60 tahun”.
Harta karun di daratan Banda sarat dengan tapak sejarah. Ada Istana Mini Neira: kediaman Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia; Rumah Budaya Neira (museum pelestari berbagai benda peninggalan sejarah Banda), Kelenteng Sun Tien Kong, Gereja tua/Hollandsche kerk, Rumah Pengasingan Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan yang lainnya. Tak berlebihan kiranya tatkala Des Alwi menyebut, “Bisa dikatakan Indonesia berawal dari Banda”.
Nama Sutan Syahrir dan Bung Hatta bahkan dipakai menjadi nama pulau. Di Pulau Syahrir terletak spot diving dan snorkeling terbaik di lautan Banda. Adapun untuk mengenang pembantaian 44 orang kaya (sebutan untuk elite lokal) yang dianggap VOC memberontak—kekayaan rempah pala mereka dirampas lalu dibantai dihadapan anak dan istri mereka; beberapa yang tersisa dibawa ke pulau Jawa untuk dijadikan budak—didirikan Monumen Parigi Rante.
Benteng, Pantai dan Bawah Laut
Istana Mini Banda atau Rumah Kediaman Gubernur Jenderal VOC di Kepulauan Banda Foto: Eddie Likumahua |
Obyek wisata sejarah terpenting dan terbesar di sini tentu saja Benteng Belgica. Portugis membangunnya 1611 untuk memantau musuh. Setelah diambil alih VOC, benteng diperbarui dan digunakan untuk memantau lalu lintas kapal dagang di perairan Banda. Satu benteng lainnya di Neira adalah Fort Nassau (yang pondasinya diletakkan Porto pada 1529, dibangun Belanda 1609). Dari Fort Belgica, ada dua sumur rahasia penghubung ke pelabuhan dan ke Fort Nassau.
Benteng Belgica diperbesar J.P. Coen tahun 1622; diperbesar lagi oleh Komisaris Cornelis Speelman tahun 1667; dan dipugar Gubernur Jenderal Craft van Limburg Stirum tahun 1911. Dua benteng bercokol gagah di P Lonthoir adalah Fort Holandia (1642, seluas 450 m²) dan Fort Concordia (1653)—senama dengan benteng di Kupang, NTT. Di P Ay berdiri Fort Revengie, di P Gunung Api ada Fort Colombo (Kijk in de Pot), dan sebuah lagi yang tak lagi terlacak: Fort Kuilenburg.
Menyeberang beberapa menit dari Banda Neira, Anda tiba di Pulau Gunung Api (656 meter dpl) yang bisa didaki ke puncaknya sekitar dua jam. Banda Api atau disebut juga Pulau Gunung Api/Gunung Api muncul pada ujung utara deretan gunung di hamparan Busur Dalam Vulkanik Banda, yang terbentuk sekitar 1,5 juta tahun yang lalu. Para ahli meyakini, pulau-pulau di sekitar Gunung Banda Api adalah sebuah sisa kaldera raksasa dari gunung api purba.
Khazanah daratan makin lengkap dengan panorama pantai dan harta karun di dalam Laut Banda. Keindahan pantai bisa dinikmati di beberapa lokasi, seperti Malole, Tita Batu, Lanthoir, dan Nama. Pulau Hatta dan Ay menyediakan spot dive yang menakjubkan. Kekayaan Laut Banda setara dengan keindahan laut di Raja Ampat, menjadikan. Wajar jika para pengelana dasar laut menyebut Banda Neira sebagai surga diving kedua setelah Raja Ampat.
Hampir seluruh area penyelaman di Pulau Banda Besar, Pulau Ai, Pulau Run, Pulau Hatta dan Pulau Sjarir sampai di dermaga Banda Neira memukau pemandangan. Pendek kata, pesona dan keanekaragaman alam bawah laut di sini jarang bisa ditemukan di tempat lain di dunia. Warna warni terumbu karangnya soft coral yang sehat.
Napak Tilas Imajiner
Bertutur tentang Banda, buat penulis, jadi semacam napak tilas imajiner. Hampir tiga dekade silam, semua lokasi yang disebut di atas—kecuali yang di bawah laut—sempat terjelajahi selama 5 hari. Kenal dekat dengan beberapa orang membekaskan getir yang perih ketika, tak sampai sebulan sepulang dari sana, pulau vulkanis Gunung Api meletus, 9 Mei 1988. Sekitar 8.000 orang di Banda harus dievakuasi ke Ambon. Letusan ini meluluhlantakkan Banda, lavanya mengalir ke dalam laut dan menghancurkan terumbu karang.
Dibanding 28 tahun silam, akses transportasi ke Banda Neira ternyata awet sebagai kendala. Penerbangan perintis Ambon-Banda sedikitnya pernah diupayakan maskapai Merpati Nusantara Airlines (hingga 2014), dilanjutkan Aviastar dengan pesawat DHC 6 (17 penumpang, tiga flight per pekan), lalu Susi Air dengan jadwal yang sangat ‘kreatif’, yaitu tergantung cerah/tidaknya cuaca. Biasanya, flight 90 menit itu dijadwalkan hari Sabtu, Minggu, dan Senin.
Menjadi penumpang tunggal dengan Cessna 208 milik maskapai Merpati agaknya pengalaman istimewa. Bayangkan, di ruang tunggu bandara Pattimura, nama penulis dipanggil via pengeras suara. Pesawat diisi 1 pilot, 1 co-pilot dan 1 penumpang. Penulis diajak ngobrol dan mendekat ke ruang kemudi, menyaksikan cantiknya pulau-pulau kecil dari kaca depan. Sang pilot DC-9 itu pun—ini plesetan dari “diisi 9 orang”/7 penumpang—iseng ‘berbelok’ mendekati pulau yang menghitam penuh burung hingga mereka buyar kocar kacir.Sepanjang penerbangan, tak ada kontak komunikasi dengan tower, baik denban Ambon maupun Banda. Ini betul-betul terbang bebas, Inilah “real flight” dalam istilah mereka—yang membedakan secara radikal dari penerbangan pesawat yang computerized, dimana otoritas pilot praktis didikte oleh mesin pintar. Beberapa pilot seniornya, alih-alih pakai kacamata, mereka terbiasa tempelkan koran di kaca pesawat, lalu dicopot mendadak sesaat menjelang landing.
Pilihan lain ke sana adalah dengan kapal laut. Kapal feri bertarif Rp350 ribuan milik Pelni itu melayani dari/ke Ambon hanya KM Kelimutu, KM Tidar dan KM Ciremai yang menyinggahi Naira setiap dua pekan. Sama halnya dengan pesawat udara, jadwal keberangkatan feri tidak menentu: kadang dua kali sepekan, kadang absen sebulan penuh bila dihadang badai. Perjalanan sekira 8-12 jam itu umumnya penuh sesak dan terseok-seok dihajar ombak. Maka, pastikan dua-tiga kali memastikan perubahan jadwal yang tak terduga.
Kendala Klasik Transportasi
Perahu motor tradisional sebagai kendaraan transportasi antar pulau di Kepulauan Banda |
Dari Pemprov Maluku, tahun lalu Gubernur Said Assagaff menyebut pembangunan Banda diprioritas pada aspek pariwisata. Pemda akan membuka jalur pelayaran Ambon-Banda dengan jadwal dua kali sepekan. Kapal yang disiapkan berkapasitas 1.500 gros ton. Kerja sama untuk membuka rute Denpasar-Banda juga sudah dijajaki. Hasilnya apa? Anggap saja niat baik sudah diikrarkan, tekad sudah diperjelas, tapi bagusnya tunda saja dulu hasrat mempersoalkan realisasi.
Bagusnya, meski transportasi ke sana tak gampang, setiap bulannya tercatat 200 pengunjung, yang 75% di antaranya wisatawan negara. Pada hemat penulis, jika Pemda turun tangan dan rela pasang badan menanggulangi kendala transportasi ini, Banda akan tumbuh jadi destinasi yang memperkaya khazanah wisata Tanah Air. Dengan biaya yang jauh lebih ekonomis dibanding ke Raja Ampat, misalnya, biaya yang dikeluarkan wisatawan tak berselisih banyak ketika mempertimbangkan pilihan antara Bunaken/Sulawesi Utara dan Banda Neira/Maluku.
Untuk ukuran kawasan ‘terpencil’, fasilitas akomodasi di Banda Neira cukup memkadai. Saat ini ada dua hotel (Mutiara Guesthouse dan Maulana, keduanya dengan tarif mulai Rp300 ribu, 12 penginapan, dan 29 rumah tinggal (homestay).
Menu di sini dominan ikan. Ikan asap yang gurih bisa disantap sembari berjalan mengitari benteng-benteng kolonial. Aneka ikan bakar biasa dihidangkan dengan sambal colo-colo, atau sup bola-bola tenggiri dan terong saus kenari.
Sebelum Mutiara Guesthose berdiri, Hotel Maulana praktis tanpa pesaing. Menginap lima malam di rumah pribadi Des Alwi (alm), sejarawan dan diplomat, serasa jadi tamu istimewa. Beliau penulis temui di Pulomas, Jaktim. Kartu nama plus sedikit coret-coret Pak Des ternyata setara paspor untuk bertualang di sana. Dalam waktu penulis yang 5 hari itu pas ada jadwal Pak Des pulang. Kami berbincang hampir sejam di teras. Benar juga kesimpulan Ramli Kamidin, teman penulis, “Pak Des itu lebih baik berbahasa Inggris atau pake bahasa Banda saja daripada berbahasa Indonesia”. He he.
Waktu terbaik untuk berkunjung adalah April hingga November, terutama jika ingin menyelam. Kondisi laut yang tenang, cuaca yang cerah dan curah hujan yang rendah. Masyarakat biasa menuebutnya, “sedang musim teduh”. Sebab, dari Desember hingga Maret, musim angin barat, kapal-kapal biasanya enggan melaut dan menantang risiko menuju Banda Neira.
Sumber: Majalah Peluang
COMMENTS