Salah satu jenis rempah yang sangat dicari yaitu Pala (Myristica Fragrans). Kepulauan Banda yang berada di Maluku adalah salah satu penghasil utama Pala
Rempah-rempah sudah menjadi kebutuhan utama sejak zaman Romawi, Assyria, Babilonia, Persia, Cina dan imperium kuno lainnya maupun pada era kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya, Singasari dan lain-lain . Bagaimana cara mendapatkan kebutuhan akan rempah-rempah tersebut masih terus ditelusuri baik itu cara memperoleh, sistim perdagangannya, jalur pelayarannya maupun siapa yang pertama kali memperkenalkan hal tersebut.
Salah satu jenis rempah yang sangat dicari yaitu Pala (Myristica Fragrans), Pala pada saat itu digunakan sebagai campuran obat-obatan untuk berbagai jenis penyakit, bumbu masak terutama untuk hidangan bagi kaum bangsawan dan elit, sebagai campuran ramuan pembalseman untuk mengawetkan mummi, bahan pengawet makanan, sebagai bahan parfum, dan sebagai simbol kejayaan/ prestise.
Kepulauan Banda yang berada di Maluku adalah salah satu penghasil utama Pala, kepulauan yang terdiri dari 10 pulau vulkanik;
- Neira,
- Banda Besar/Lonthor,
- Ay,
- Run,
- Rosengain/ Hatta,
- Gunung Api,
- Pisang/ Syahrir,
- Karaka,
- Nailaka,
- Manukang.
Enam (6) pulau dalam urutan diatas adalah pulau-pulau utama penghasil pala, dimana di pulau-pulau tersebut tanaman pala tumbuh subur serta masyarakatnya sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani pala, hal ini sudah berlangsung sejak zaman dulu dan sampai saat ini.
Era selanjutnya adalah kontak dengan bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris (Abad XV – Abad XX), Bangsa-bangsa Eropa ini nekad mengarungi lautan beribu-ribu kilometer menuju Banda, hanya untuk menguasai pohon-pohon pala dan perdagangan rempah-rempah di dunia. kehadiran Fransisco Serrao dan Antonio De’ Abreau dari Kerajaan Portugis dengan kapalnya di Kepulauan Banda pada bulan Februari 1512 merupakan titik awal malapetaka bagi masyarakat Banda. Pulau yang selama ini dicari-cari akhirnya ditemukan dan membuka akses/jalur pelayaran untuk bangsa-bangsa Eropa selanjutnya. Tidak lama berada di Banda, Portugis beralih ke Ternate karena kalah bersaing dengan Belanda.
Babak selanjutnya De Heeren XVII (17 Pengusaha/ Pemodal) dari Belanda dengan Maskapai Dagangnya yaitu VOC (Verenigde Oostidische Compagnie) mulai membuka perdagangan dengan penduduk Banda, VOC dengan keserakahannya tidak puas dan ingin menerapkan sistim monopoli dengan melarang orang Banda untuk berdagang dengan para pedagang Inggris, Arab, Cina, Gujarat dan Melayu. Hal ini menimbulkan amarah rakyat Banda terjadilah peperangan antara VOC dengan Orang Kaya (para Pemimpin/Bangsawan) Banda, hal ini terjadi pada tahun 1609 – 1621 atau yang dikenal dengan nama Perang Banda.
Perang Banda ini berakhir dengan kekalahan rakyat Banda dengan dibunuhnya 40 Orang Kaya (Pimpinan) Rakyat Banda, sebagian ditawan dan dibawa ke Batavia dan Srilanka serta terjadi eksodus besar-besaran ke luar Banda seperti ke Kepulauan Kei, Pulau Seram, dan pulau-pulau lainnya. Kekalahan rakyat Banda ke karena VOC lebih unggul dari sisi persenjataan, jumlah serdadu yang lebih banyak, dan strategi perang yang baik, dengan demikian resmilah Banda di bawah kekuasaan VOC. Setelah memperoleh kekuasaan atas pulau-pulau yang sebenarnya sudah hampir tak berpenghuni dan tidak produktif lagi, maka Coen mulai melancarkan tahap kedua rencananya. Ia berlayar kembali ke Batavia dan mengumumkan bahwa VOC bersedia menerima lamaran untuk memperoleh hibah tanah di Banda dengan syarat bahwa para pelamar bersedia berdiam di Banda secara permanen dan memproduksi rempah-rempah bagi kompeni. Tak lama kemudian berbagai lamaran masuk dari para pegawai VOC yang setia baik yang bertugas sebagai militer maupun sebagai pedagang, yang sudah pensiun. Mereka adalah bekas pegawai VOC yang sudah selesai masa kontrak kerja dengan kompani tetapi masih berdiam di Batavia, Ambon ataupun di Banda.
Lahan-lahan yang produktif dibagi atas 68 persil atau yang disebut “Perken/ Perk” (perkebunan) berukuran kira-kira 625 roeden per segi atau dari 12 sampai 30 hektar per perk. Seluruhnya ada 34 di Banda Besar/Lonthor, 31 di Pulau Ai dan 3 di Pulau Naira dan diberikan hak kelola kepada 34 – 68 orang “Perkenier” (petani pala berlisensi yang dapat mengelola lebih dari satu perk). Kepada setiap perk akan disediakan 25 orang budak. Untuk keperluan pembukuan maka setiap perk dinilai 625 rijksdaalders. Perhitungan dasar adalah bahwa setiap budak yang mengerjakan 50 roeden dapat memproduksi pala dan fuli per tahun sebesar 25 rijksdaalders, maka dengan demikian setiap perk dapat menghasilkan 625 rijksdaalders setiap tahun, yakni nilai yang dapat ditarik pajak. (Alwi, 76:2005).
Gugusan Kepulauan Banda, Maluku Photo by @nyongpit_uwen |
VOC mewajibkan para Perkenier untuk menjual hasil perkebunan pala dan fuli hanya kepada VOC. Mereka sangat sangat pelit dan, rakus dan tamak dalam membeli hasil rempah-rempah tersebut. Misalnya saja mereka membeli untuk satu pond fuli dan biji pala di Banda seharga 7.5 ketip dan 5 sen dan mereka menjualnya di Amsterdam dengan harga f. 3.60 dan f. 2.90. Dapat dibayangkan betapa besarnya keuntungan yang diraup oleh Kompeni dari para perkenier ini. Hal ini berlangsung selama lebih dari dua abad, yakni sampai masa Hindia-Belanda pada abad 19 dan awal abad 20.
Puncak produksi perkebunan pala ke- 68 Perk tersebut dicapai tahun 1700 – 1750. Menjelang tahun 1854, jumlah perkebunan menurun menjadi 25 di Pulau Banda Besar, 3 di Pulau Naira dan 6 di Pulau Ay (Hanna 1983). Harga Pala yang saat itu melebihi harga emas sangat berkontribusi untuk pembangunan kota-kota modern di Belanda seperti Amsterdam, Hoorn, Den Haag, dan lain-lain selain itu membuat pundi-pundi kekayaan untuk VOC dan para Perkeniers (Tuan Kebun/Pengusaha yang diberikan hak kelola) semakin melambung tinggi. Dalam catatan Gubernur Jenderal Reiner de Klerk (1777-1780), pendapatan VOC dari penjualan rempah-rempah, terutama pala mencapai 1,8 juta gulden pada 1756. Lalu, seabad berikutnya Dr Pieter Bleeker, seorang opsir kesehatan tentara, mencatat penerimaan dari rempah-rempah mencapai 959,610 gulden.
Sisa-sisa kejayaan para Perkenier dapat terlihat dari bangunan-banguna megah di Kota Neira dan pulau lain di Kepulauan Banda sampai saat ini, walaupun sebagian tinggal puing-puing. Berikut daftar beberapa Perk yang pernah ada di Banda :
PULAU NEIRA :
1. Hersteller/ Casting2. Bankobatoe
3. Lautakko
4. Zevenbergen
PULAU AY :
1. Welvaren2. Westklip
3. Weltevreden
4. Matalenko
5. Kleinzand
6. Verwachting
PULAU RUN :
1. Arcadie2. Eldorado
PULAU HATTA :
1. De HoopPULAU BANDA BESAR/ LONTHOR :
1. Namoeloe2. Takkarmoro
3. Kelij Noorwegen
4. Lakoeij
5. Werong
6. Orantata
7. Everst
8. Drie Gebroeders
9. Babij Mandie
10. Beneden Dender
11. Boerang
12. Beijaund
13. Boetoeng
14. Zoeten in Wall
15. Comber
16. Spantjebij
17. Raning
18. Boven Dender
19. Lahoetang
20. Toetra
21. Leust
22. Groot Wallingen
23. Klein Wallingen
24. Simon wall
25. Oering
Satu abad setelah Penaklukan Coen yang tak terlupakan ke Banda, tampaknya impian penakluk ini telah menjadi kenyataan. Kebun-kebun pala di Banda menghasilkan kekayaan yang luar biasa untuk Belanda. Coen sendiri tidak pernah mengunjungi Kepulauan Banda kembali dan menurut Valentijn dan penulis lainnya ia meninggal dalam benteng di Batavia pada 1629 dalam usia 42 tahun karena diserang penyakit “disentri” (barangkali kolera).
Dengan keuntungan yang begitu besar para Perkenier merubah gaya hidup dengan menjadi Kaum Sosialita dan membentuk kelas tersendiri dalam masyarakat, mereka dengan senang berfoya-foya, mabuk-mabukan, berjudi, membangun rumah-rumah mewah dengan material yang didatangkan dari Eropa, singkat kata hidup mereka seperti para pangeran.
Dalam masa keemasan itu tidak selamanya berjalan mulus, usaha perkebunan pala mereka sering dilanda musibah seperti gempa bumi dan letusan Gunung Api Banda memporak-porandakan perkebunan, kebakaran hutan, perang antara Belanda dan Inggris untuk memperebutkan Belanda sampai dengan para pejabat VOC yang korup yang sering memanfaatkan para Perkenier untuk memperoleh keuntungan bagi mereka.
Dalam masa Keemasan itu juga VOC membangun Neira menjadi Kota bertaraf Internasional dengan gedung-gedung mewah bergaya Eropa, rumah sakit, sekolah, sociteit de harmonie, benteng-benteng dan kubu pertahanan, galangan kapal dan tata kota ala Eropa dengan blok kawasan, drainase, dan pohon-pohon peneduh di tiap sisi jalan. Willard Hanna, peneliti Amerika yang menulis sejumlah buku tentang kepulauan ini, menjuluki Banda sebagai “een Europeeshe Staad in Zuid-Oost Azie” atau maket kota kecil Eropa di Asia Tenggara.
RUNTUHNYA PERKENIER
Koleksi Museum Rumah Budaya Banda, Kepulauan Banda, Maluku Photo by @sarahaleyda |
Lilie Suratminto dalam sebuah Tulisannya yang berjudul “Runtuhnya Kejayaan Masyarakat Perkenier Di Kepulauan Banda Pada Masa Kolonial Hindia-Belanda”. Menyatakan bahwa :
Pada tahun 1864 menteri Franssen van der Putte menawarkan kebebasan perdagangan kepada perkenier. Selama dua abad kehidupan para perkenier sepenuhnya bergantung pada Kompeni dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Pada saat diberikan kebebasan, mereka menjadi sangat gamang.
Mereka tidak biasa melakukan perdagangan bebas. Tawaran ini kemudian menjadi keputusan dengan diterapkannya undang-undang Agraria tahun 1870. Mereka yang selama ini sangat tergantung dari Kompeni kemudian pada masa kolonial dilanjutkan oleh NHM, mereka harus hidup mengurus diri sendiri dan berusaha sendiri tanpa manajemen pasti, menjadi salah tingkah.
Tahun 1870-1890 adalah masa kejayaan kedua dari para perkenier. Dengan kebebasan tersebut mereka hidup sangat royal. Mereka sangat dermawan, dan ramah. Mereka membangun rumah lengkap dengan meubelair dari Eropa. Banyak menghamburkan uang untuk membeli benda-benda seni. Mereka tetap memegang tradisi menghormati nenek moyang mereka yang telah meninggal dunia dengan memesan batu nisan yang indah dari India. Pada umumnya mereka memakamkan keluarga di kebun mereka sendiri, tapi ada beberapa di antaranya yangdimakamkan di dalam atau di halaman gereja.Mereka juga sangat taat ke gereja, patuh kepada pemerintah dalam hal ini Kompeni dan kerajaan Belanda.
Hampir setiap hari mereka bersenang-senang. Selalu ada pesta baik pesta keluarga sehubungan dengan perkawinan, ulang tahun, bahkan kematian. Semua kesempatan berkumpul perlu dipestakan dengan makanan dan minuman yang melimpah yang mereka pesan dari Eropa. Hampir setiap perkenier mempunyai korps musik. Mereka naik kereta yang berlapis perak. Sayangnya hidup seperti dalam mimpi itu tidak berlangsung lama.
Banyak di antara mereka yang kemudian bangkrut dan menjual sedikit demi sedikit perkebunan warisan turun-temurun mereka kepada orang lain. Dengan demikian runtuhlah sendi-sendi kehidupan perkenier yang selama ini menopang perekonomian Belanda. Sekarang tidak ada lagi pesta. Semua keindahan baik tempat tinggal maupun alam kepulauan Banda terpaksa mereka tinggalkan. Tidak ada lagi anak-anak mereka bermain di halaman rumah warisan leluhur mereka. Perkebunan milik Van den Broecke, Hardecop, Pietersz., Soet, Van Surker, Thyson, Leurs, Bieswanger dan Brantzoon, nama-nama yang dilaporkan oleh Valentijn pada tahun 1724 dalam Oud en Nieuw Oost Indiën telah tinggal kenangan. Semua kini telah hancur. Putusan untuk memberikan kebebasan ini bukannya tidak beralasan. Harga pala dan fuli dan cengkeh pada saat itu sudah mengalami titik terendah. Dunia saat itu tidak lagi melihat Maluku termasuk Banda sebagai satu-satunya pusat rempah-rempah. Inggris selama pendudukan di Banda telah mengusahakan tanaman pala di Bengkulu, Penang dan lain-lain. Di samping itu Inggris juga menanam cengkeh di Manado dan pantai selatan Jawa Timur. Prancis menanam cengkeh besar-besaran di Zanzibar Afrika. Sebaliknya para perkenier tidak bisa membaca tanda-tanda itu karena mereka sudah biasa hidup dininabobokkan oleh penguasa. Kehidupan masa keemasan sudah lewat.
Terlepas dari semua itu satu hal yang penting dampak dari adanya Perk-Perk / Perkebunan Pala di Banda yaitu terbentuknya generasi baru Banda Naira yang secara sosiokultural berbeda dengan daerah lain di Maluku yang mana ini terbentuk dari suatu proses difusi, asimilasi dan akulturasi antara Orang Banda dengan berbagai suku yang pernah dipekerjakan di di perk-perk tersebut, mereka yang dipekerjakan yaitu berasal dari Jawa, Bali, Banten, Makassar, Kalimantan, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Cirebon, Buton, Aceh, dan lain-lain mereka berada di Banda dan terlibat sebagai pekerja di perk karena dihukum dengan dibuang/diisolir oleh Belanda akibat aktivitas mereka di daerah masing-masing yang terlibat dalam perang-perang besar melawan Belanda seperti Perang Diponegoro, perang Banjar, Perang Aceh, Perang Banten dan lain-lain. Di era berikut ada para pekerja yang bekerja di Perk ini juga atas permintaan sendiri untuk menjadi karyawan kontrak. Selain itu perkawinan dan pembauran budaya juga terjadi dengan bangsa lain dari luar Indonesia seperti Arab, Cina, Melayu, India, Belanda, Spanyol, Portugis dan lain-lain yang selam berabad-abad sudah melakukan aktivitas perniagaan di Banda Naira.
Difusi, Asimilasi dan Akulturasi dari berbagai suku bangsa ini membentuk satu komunitas dengan tatanan dan identitas sosial yang khas, sebagai salah contoh yaitu : Orang Banda tidak memiliki Bahasa, yang ada hanya dialek, tidak memiliki marga/fam, ciri fisik/paras yang beragam, tradisi budaya, busana dalam upacara-upacara adat dan simbol-simbol identitas lainnya yang beraneka ragam. Semua itu semakin memperkaya khazanah budaya Idonesia secara umum dan Maluku secara khusus.
Satu hal yang perlu dipegang oleh orang Banda yaitu : “KEBERAGAMAN MENUJU KESERAGAMAN BUKAN KEBERAGAMAN MENUJU KEHANCURAN”
oleh : Isra Al-Amin
(Dikutip dari berbagai Sumber)
Foto sampul oleh: instagram @jejakkakibeta
COMMENTS