Fatris MF: Menyelami Sejarah di Banda Neira

Tulisan Menyelami Sejarah di Banda Neira yang dimuat di Destinasian Indonesia ini boleh dikatakan tertutur dari hati. Ada rasa haru dan bangga saat membacanya. Tapi tak sedikit jua hal-hal menggelitik, polos dan apa adanya

Banda Neira Kepulauan Banda Neira banda Islands
Berkat rempah, Banda diperebutkan para penguasa dari dunia lama. Zaman sudah jauh berlalu dan pamor rempah telah susut, tapi kepulauan ini masih memikat berkat lautnya yang subur, pantainya yang membius mata, serta rumah-rumahnya yang senantiasa terbuka bagi tamu, baik tahanan politik maupun penyelam.

Fatris MF, membuka celotehnya tentang perjalanannya ke Kepulauan Banda. Tulisan yang dimuat di Destinasian Indonesia ini boleh dikatakan tertutur dari hati. Ada rasa haru dan bangga saat membacanya. Tapi tak sedikit jua hal-hal menggelitik, polos dan apa adanya. Fatris MF menulis tentang Banda yang sebenarnya Banda.

Di akhir tulisannya Fatris menyampaikan sebuah pesan, "Laut ternyata tidak butuh penakluk, melainkan meminta kita mengalun bersama arusnya."

Sekarang anda sedang membaca di blog Visit Banda Naira, dan bisa jadi anda tidak sedang berada di lautan. Anda akan membaca tulisan Fatris tentang kisahnya Menyelami Sejarah Banda Neira.

Menyelami Sejarah di Banda Neira
Oleh Fatris MF

Murid-murid saya menulis tentang tanah kelahiran mereka dengan khusyuk, seperti sekelompok biksu yang tengah bertapa. Pelajaran mengarang, begitu kami menyebutnya. Angin yang bertiup dari barat membawa aroma pala ke ruang kelas. Murid-murid menulis tentang hidup di Banda Neira, sebuah negeri yang susah dijelaskan keberadaannya di atas peta. Kecamatan berisi tujuh desa ini hanyalah secuil noktah yang samar.

Beberapa peta bahkan tak menuliskan namanya. Padahal dari noktah kecil inilah sejumlah pelayaran akbar bermula. “Ayahku seorang nelayan; kami dulu punya perahu. Tapi sekarang Ayah di Jakarta mencari uang. Saya beruntung tinggal di Banda,” Mega Laja Hardin memulai paragraf pertamanya. Siswa lainnya berjibaku, kadang mendongakkan kepala dengan mulut setengah menganga. Pelajaran mengarang ini semacam permainan tentang ingatan.

Di ruang kelas SMP ini, ketika siswa sibuk mengarang, saya sibuk dibawa pikiran sendiri. Saya membayangkan Sjahrir ketika pertama datang ke pulau ini sebagai orang buangan. Pulau ini sepi dan Sjahrir sosok yang takut akan kesepian. Maka, sesampai di Banda, dia mengumpulkan anak-anak, mengajak mereka bermain di pantai berpasir putih, kadang mengajarkan mereka tentang nasionalisme—tentang Nusantara.

Sjahrir bertanya pada anak-anak: bermain atau belajar? Bagi mereka, belajar seperti bermain. Jamaludin La Ali belum juga membuka paragraf. Dia bingung harus menulis apa. Matanya menerawang, kemudian terpaku menatap peta selebar satu meter yang terpajang di dinding kelas. Peta Indonesia hasil kerajinan siswa itu memuat Banda dengan porsi yang lebih besar. Namanya jelas. Sosoknya lengkap, mencakup semua gugusan pulau di Kepulauan Banda: Banda Besar, Neira, Hatta, Sjahrir, Gunung Api, Ai, Run, Nailaka, Manukang, Karaka.

Peta dengan garis, warna, dan komposisi yang berantakan itu seakan hendak menegaskan: Banda mesti ditulis jelas dan pulau-pulaunya tidak boleh luput. Di samping peta, potret presiden dan wakilnya yang tersenyum tergantung di dinding. Di antara keduanya, ada Garuda dengan kepala yang menoleh ke jendela dan sayap terentang seolah hendak melesat menerobos kaca.

“Aku ingin pergi ke luar negeri jadi turis, terbang dengan pesawat,” tulis Rani dalam karangannya. Di luar sekolah, sebuah lapangan udara terhampar, kosong tak didarati pesawat. “Saya tidak ingin seperti ibu yang hanya di rumah saja!” kata Karmila yang duduk di pojok kelas.

Kami saling berbagi cerita hingga hari tinggi. Udara panas berpasir dari pantai merambat ke kelas. Lonceng berbunyi dari depan kantor sekolah. Semua siswa akan pulang, lalu tidur siang di rumah masing-masing. Tidur siang memang kebiasaan hampir seluruh masyarakat di sini, baik anak sekolah, remaja, maupun orang tua. Ini kebiasaan kolonial yang terpelihara hingga sekarang. Tidak hanya tidur siang, bahasa orang Banda pun banyak dipengaruhi idiom Belanda. Pelabuhan disebut haven, straat untuk jalan, leppe untuk sendok, dan masih banyak lagi.

Saya berangkat ke Banda pada awal Februari. Ombak dan angin saling bersabung di Laut Banda, laut dengan riwayat yang menakutkan. Di laut ini, dulu, banyak pelaut asing lenyap bersama kapal-kapal mereka akibat ditelan gelombang ganas. Saya datang ke Banda ketika angin berkesiur kencang dari barat. Ombak mengempas, menggedor-gedor lambung kapal. Nelayan di sini menyebutnya “Musim Barat.” Musim yang kerap menjadikan harga kebutuhan pokok melambung hingga lima kali lipat harga di Jakarta. Musim yang membuat kapal-kapal tidak memasukkan Banda sebagai rute persinggahan, sampai-sampai barang kebutuhan pokok dari Jawa dan Seram menjadi langka.

[next]
KM Tidar, kapal milik negara kepulauan terbesar sejagat ini, terseok-seok di atas gelombang semalam suntuk. Dini hari, kapal lelah ini melepas jangkar di Pelabuhan Banda Neira. Trompet kapal yang memecah sunyi lautan membangunkan saya dari tidur. Dalam setengah mengantuk, dari atas dek, saya melihat sebuah pelabuhan dari abad ke-17 yang disirami cahaya temaram.

Lima abad silam, kapal Portugis pernah melempar jangkarnya di sini. Beratus tahun sebelumnya, pedagang Arab telah menjalin hubungan dagang dengan masyarakat Banda. Di bawah sana orang-orang mengangkut barang kebutuhan pokok. Saya membayangkan diri saya sebagai eksil yang memandang dari atas geladak kapal. Dulu Hatta dan Sjahrir dilemparkan ke sini oleh pemerintah kolonial. Apa saja yang mereka lakukan di sini? Betahkah mereka di pulau kecil ini?

Saya menuruni tangga licin bersama orang-orang yang datang dari Ambon. Mereka transit selama dua jam saja di Banda, lalu meluncur ke Tual. Banda Neira memang kerap menjadi persinggahan semata. Tanah di barat Ambon ini tidak menghasilkan apa-apa untuk dimakan. Hanya pala dan cengkih yang tumbuh subur, juga kenari dan kayu manis dalam jumlah kecil yang berebut tempat dengan kelapa. Selebihnya tidak ada. Apa yang bisa diharapkan dari tanah yang hanya menghasilkan rempah yang tidak bisa mengusir lapar ini? Tapi, dari rempah inilah mula-mula Banda dikenal. “Banda yang kucintai,” catat Adena Lausu, seorang murid saya, dalam pelajaran mengarang.

Pagi datang bagai tirai hitam yang dicabikkan dari langit. Lautan terang, orang-orang telah bangun lebih pagi. Dermaga-dermaga kecil dipenuhi perahu dengan formasi silang-menyilang. Anak-anak berangkat ke sekolah. Pedagang dan pegawai kantor pemerintahan pergi bekerja. Setelah itu, hanya dalam hitungan jam, pelabuhan Banda kembali senyap seperti sedia kala.

Saya berjalan melewati rumah-rumah dengan pintu terbuka. Dulu, Sjahrir terkejut ketika pertama datang ke sini. Tempat ini berbeda dari Belanda, tulis Sjahrir, di mana rumah memiliki pagar yang tinggi, yang mencerminkan mentalitas bangsa yang penuh curiga. Banda hanya “sebuah kampung” tempat orang-orang bercakap mengisi hari dengan ramah, tempat rumah-rumah membiarkan pintunya menganga. “Tinggal saja di rumah kami,” kata seorang perempuan setengah baya dengan senyum merekah.

Saya menginap di rumah Wa Ramla Lasilaha. Suaminya, Yahya, seorang mantri terkenal di Banda Neira. Mereka menyuguhi saya kopi begitu menjejakkan kaki di rumah mereka. Mereka juga memasak ikan segar untuk saya. Masakan orang Banda terasa enak di “lidah Padang” saya. “Ini pusat rempah, bung, mereka paham dengan rasa dan selera,” saya membayangkan Sjahrir mencemooh keraguan saya akan kelezatan masakan orang Banda.

Saya merasa lebih beruntung dari Sjahrir dan Hatta. Saya datang sebagai pelancong, sementara kedua tokoh itu berstatus orang buangan. Tapi, baik pelancong atau kaum terbuang, orang-orang Banda sepertinya bakal menyambut siapa saja dengan ramah. “Esok kita akan bertamasya,” kata Ramla mengejutkan lamunan saya. Dan, pagi-pagi sekali dia telah memasak beragam ikan: kerapu merah hingga tuna dari kedalaman laut. “Ini untuk kita makan di sana,” katanya lagi. Ikan-ikan dengan rasa yang sedap ini seperti tidak berharga di sini. Mengetahui kami akan bertamasya, beberapa nelayan memberi Ramla hasil tangkapan mereka begitu saja. Ikan bagi masyarakat Banda mungkin seperti kopi di Aceh, apel di Malang, atau rokok bagi warga Minangkabau.

[next]
Kami naik perahu, lalu menyeberangi selat yang tenang layaknya selembar kain habis disetrika. Kami mendarat di Pantai Malole, membentangkan tikar di atas pasir putih, membuka rantang dan ransum yang disiapkan Ramla. Bersama, kami menyantap ikan-ikan segar berbumbu rempah yang harumnya menyeruak sampai jauh.

Kami memandang laut sambil bercakap-cakap, lalu pulang setelah bosan. Tamasya yang sederhana. Tidak hanya keluarga Ramla, ada beberapa keluarga lain yang piknik di sini. Warga Banda punya kebiasaan berlibur, walau tempat liburannya hanya berjarak 15 menit dari rumah. Lagi-lagi, ini kebiasaan warisan orang Eropa.

Pagi buta berikutnya, Ramla telah mandi, lalu merias bibir dan wajahnya yang mulai keriput. Usia tampaknya lebih kuat dari kecantikannya. Suaminya, Yahya, juga telah mengenakan batik dan menyisir rambutnya yang tipis, kemudian mengenakan peci. Kali ini saya diundang menghadiri sebuah pesta pernikahan. Saya seperti anak yang baru dipungut keduanya di tengah laut. Ke mana pun mereka pergi, saya dibawa. “Kamu harus ikut, di sini setiap orang harus menghadiri pesta!” Kami menumpang kole-kole, perahu kecil. Tak sampai 20 menit, kole-kole bermesin tempel ini telah bersandar di Banda Besar, pulau hijau yang sarat aroma pala. Menoleh ke mana pun, terlihat hamparan pala. Hari masih pagi, tapi para tamu telah berdatangan.

Sepertinya seantero Banda mengetahui siapa saja yang punya hajat. Dan seperti kata Ramla, setiap orang wajib hadir. Di tempat resepsi, mempelai perempuan telah menanti dengan pakaian putih ala Anglo yang dipadu kerudung. Rumah tempat kenduri ini dihiasi warna-warni Eropa dan Cina. Sebuah organ tunggal juga telah disiapkan. Tak berapa lama, pengantin laki-laki datang dan para tamu menyambutnya dengan berdiri. Pengantin pria tampil mirip Raja Fahd dari Arab, dengan serban di kepala dan jubah putih yang membalut badan.

Ketika pesta belum usai, saya dibawa Pongky ke kebun pala yang ditanam sejak 1728. Pala, kata Pongky van den Broeke, adalah buah sengketa berabad-abad. Buah ini pula yang memikat orang-orang Barat, termasuk buyut Pongky. Pongky adalah sisa dari zaman keagungan rempah. Dia mengelola sendiri kebun pala miliknya. Luas tanahnya belasan hektare.

Dia juga membudidayakan bibit pala, lalu menjualnya ke berbagai daerah di luar kepulauan. “Dulu, karena keterbatasan tenaga penggarap lahan yang ribuan hektare luasnya di Kepulauan Banda, Belanda mencari kuli ke Pulau Jawa. Tetapi, kini, masa jaya pala itu hanya tinggal ini,” katanya sambil menunjuk kebun pala yang hanya tersisa belasan hektare. Saya pernah melihat suasana di sebuah bandar di Belanda melalui foto tua. Orang-orang antre menunggu rempah yang datang dari Hindia. Rempah dari Banda tentunya. Namun, pada 1940-an, ketika Jepang hendak mencaplok Asia, pala dibabat habis dari tanah Banda. Pieter van den Broecke, kakek Pongky, hampir trauma melihat api yang membakar seluruh kebun pala.

Pala tidak bisa menjawab lapar prajurit Dai Nippon, karena itu diganti ubi. “Ubi ditanam, tapi malah pala juga yang tumbuh,” ujar Pongky disusul tawa. Setelah pembakaran lahan yang masif, pala malah kian subur. Tapi riwayatnya tidak berhenti di situ. Setelah Indonesia merdeka dan Orde Baru berkuasa, pemerintah daerah ingin memonopoli perkebunan pala hingga memberlakukan P28—istilah yang digunakan untuk menangkap siapa saja yang menanam pala. Lagi-lagi pala menjadi simpul sengketa. Berbagai kenyataan itu menyebabkan kejayaannya di Banda perlahan redup.

[next]
Puas berkeliling dengan perahu, saya berkeliling daratan Banda. Persinggahan pertama, Rumah Budaya Banda Neira. Di interiornya, saya terpaku lama memperhatikan sebuah lukisan. Digambarkan, para eksekutor dari negeri samurai menebas kaum kaya Banda dengan katana. Pangkal masalahnya, konon, orang-orang kaya (julukan cendekiawan Banda) itu memberontak. Tanah yang harum aroma pala ini ternyata menyimpan catatan penuh darah. Amisnya seperti tidak kunjung hilang hingga hari ini.

Tak jauh dari museum terdapat benteng sepuh Belgica di mana lima meriam mengarahkan moncongnya ke pantai. Neira yang cantik, dengan pasir putih yang membingkai, dijaga dengan pedang terhunus. Dari atas Benteng Belgica, Banda Neira terlihat seperti gadis lugu dengan beberapa bekas luka sejarah yang telah mengering pada pipinya. Ia dulu jadi rebutan kaum pengembara Portugis, disusul bangsa-bangsa Eropa lainnya.

Berbagai pertempuran pecah hanya untuk satu alasan: pala, komoditas yang jauh lebih berharga dari emas pada masa itu. Belanda dan Inggris berseteru merebutkan Run, salah satu pulau kecil di Kepulauan Banda. Belanda sampai sudi menukar Manhattan dengan Run yang sebelumnya dikuasai Inggris. Run, menurut Des Alwi dalam buku Sejarah Banda Naira, adalah pulau terpenting di antara pulau-pulau lainnya di Banda. Pulau inilah yang menjadi awal sengketa antara VOC dan Portugis. Sengketa yang berlarut selama 60 tahun.

Saya berjalan mengitari benteng, melihat kebun-kebun pala dari kejauhan. Seorang turis asal Belanda menghampiri saya. Dia datang usai membaca catatan harian kakeknya. “Kami dulu pernah menguasai sebuah surga kecil di Timur yang berisi tumbuhan wangi,” tulis catatan itu, katanya. Kemudian dia mengeluh dalam bahasa Inggris yang agak janggal di telinga.

Memang butuh tenaga untuk sampai ke “surga kecil di Timur ini,” ujarnya. Seperti saya, dia terpaksa naik kapal tua penuh karat dari Ambon. Seorang lelaki usia 30-an datang menyalami si turis. Lelaki itu, Maga Fira, seorang guru honorer yang menyambi sebagai pemandu. Dari dalam tasnya yang lusuh, Maga mengeluarkan koin-koin VOC. Si turis memegangnya dengan mata terbelalak, kemudian menyampaikan keluhan yang sama pada Maga: transportasi ke Banda yang tidak terjadwal! “Sejak Pak Des tidak ada, pulau ini terisolasi,” kata Maga menjawab keluhan si turis. Des Alwi, anak angkat Sjahrir, memang terkenal di Banda.

Keduanya berlalu, menyusuri lorong-lorong benteng. Dulu, Belanda menguasai Banda. Sekarang, pria Banda menjadi pemandu untuk turis Belanda. Saya melihat keduanya berjalan bersisian: pribumi dengan turis, sebagaimana di masa lalu, hanya dalam sisi yang berbeda. Benar kata Maga, Banda merupakan surga yang tengah terisolasi. Penerbangan ke sini sudah ditutup, namun turis masih berdatangan dengan kapal yang tak terjadwal rapi, penuh sesak, dan senantiasa terseok-seok dihajar ombak. Apa yang hendak mereka cari di pulau-pulau kecil yang dikungkung lautan dalam ini?

“Mereka ingin menyelam,” jawab Yayu, wanita lokal berwajah eksotis. Dialah yang memperkenalkan saya kepada Alfan Daulau, guru SMP Tanah Rata. Alfan lalu mengajak saya ke sekolahnya untuk mengisi kelas, mengajar apa saja, dan saya memilih pelajaran mengarang. Di Banda, hanya ada pala, cengkih, dan kenari. Tapi di lautnya, kapal-kapal menancapkan jangkar dan memanen tuna, komoditas unggulan pulau ini. Di hari yang lain, saya mengikuti seorang penambang mutiara. Katanya, di laut Banda terhampar karang warna-warni bak permadani yang disulam wanita-wanita Turki.

[next]
Di depan sebuah istana mini yang menatap laut, yang arsitekturnya nyaris sama dengan istana negara, saya menumpang perahu. Kira-kira 500 meter ke tengah, saya melihat cantiknya dasar laut. Saya memutuskan berenang, mengepung dengan alat selam seadanya. Betul saja, karpet elok Turki melapisi alas laut. Ikan-ikan aneka warna berseliweran. Semuanya bagai dunia lain, dunia yang jauh lebih damai. Saya memaksa menyelam tanpa pemberat dan menyaksikan kecantikan yang begitu menawan. Barangkali bom ikan belum sampai ke sini.

Arus kemudian memusing di tengah. Perahu yang mengantar saya raib entah ke mana. Segala ilmu selam dan ilmu berenang saya—yang saya anggap jempolan untuk standar orang pesisir Sumatera—ternyata sia-sia. Saya hampir kehilangan akal dan tenggelam. “Maut akan dekat ketika engkau tidak bisa menguasai diri,” kata seorang guru silat pada saya. Tapi saya tidak sedang bersilat, melainkan bertarung dengan arus. Kepanikan adalah jarak yang akan mendekatkan engkau dengan maut, kata-kata guru saya terngiang lagi.

Kaki saya mendadak setengah keram, sementara daratan masih sangat jauh. Saya tidak ingin berteriak meminta pertolongan. Selain sia-sia, berteriak juga tindakan yang memalukan bagi orang pesisir. Saya cuma ingin segera selamat dari pusaran arus yang tak menentu ini. Banda yang cantik ini ingin melamun saya dengan arus dan cintanya. Saya jadi ingat sebuah sajak yang ditulis Chairil Anwar pada 1940-an: sajak terakhir akan lahir dari dasar lautan. Tapi Chairil telah lama tiada, dan entah mengapa dalam keadaan begini genting saya harus mengingat sebuah sajak. Saya pun pasrah: membalikkan badan, menatap ke langit yang biru. Tubuh saya mengikuti arus hingga tepian. Saya buang ketakutan dan kesombongan. Laut ternyata tidak butuh penakluk, melainkan meminta kita mengalun bersama arusnya.

Di pantai, dalam lelah, saya menatap laut. Di belakang saya, Banda menggelontorkan warna hijau pucuk-pucuk pala. Besok saya akan pulang ke Sumatera. Hatta dan Sjahrir barangkali melakukan hal yang sama dulu, di sini, di pantai Banda ini: menengok laut, lalu menoleh pada Banda, melambai sejenak, kemudian dipulangkan pemerintah kolonial ke Batavia, meninggalkan tempat yang telah menyambut dengan tangan terbuka.

Sumber: Destinasian Indonesi, Menyelami Sejarah di Banda Neira

COMMENTS

loading...
Name

Artikel,20,Banda Islands,5,Banda Naira,7,Banda Neira,7,Benteng,4,Berita,1,buzz,1,Film,1,fotografi,1,Kepulauan Banda,4,Nieuws,3,Nieuws Pendidikan,1,Perjanjian Breda,2,Pulau Run,2,Run Manhattan,2,Sejarah,6,Tips,2,Treaty of Breda,2,Video,1,Wisata,14,Wisata Bahari,7,Wisata Budaya,1,Wisata Sejarah,4,Wisata Selam,6,
ltr
item
Visit Banda Naira: Fatris MF: Menyelami Sejarah di Banda Neira
Fatris MF: Menyelami Sejarah di Banda Neira
Tulisan Menyelami Sejarah di Banda Neira yang dimuat di Destinasian Indonesia ini boleh dikatakan tertutur dari hati. Ada rasa haru dan bangga saat membacanya. Tapi tak sedikit jua hal-hal menggelitik, polos dan apa adanya
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgP2UpmybgZaiiFb3t1fZtkhM554CFWxhuohB2Zoc8dnTnSh0T_nN21P4NmpkmjiWs7nmKL1uvw4A4s4-XX_LhfFYALzstiHEQZQRaNaeGsbPV0GQVz4ZtJNrP1CyU1J8u4HCF-eOUBhuU/s640/Fatris-MF-Menyelami-Sejarah-di-Banda-Neira.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgP2UpmybgZaiiFb3t1fZtkhM554CFWxhuohB2Zoc8dnTnSh0T_nN21P4NmpkmjiWs7nmKL1uvw4A4s4-XX_LhfFYALzstiHEQZQRaNaeGsbPV0GQVz4ZtJNrP1CyU1J8u4HCF-eOUBhuU/s72-c/Fatris-MF-Menyelami-Sejarah-di-Banda-Neira.jpg
Visit Banda Naira
https://www.bandanaira.net/2016/01/fatris-mf-menyelami-sejarah-di-banda-neira.html
https://www.bandanaira.net/
https://www.bandanaira.net/
https://www.bandanaira.net/2016/01/fatris-mf-menyelami-sejarah-di-banda-neira.html
true
7607241972246855887
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy Table of Content