Des Alwi seperti Bandaneira: elemen yang sering tak diingat, tapi saksi penting dari riwayat Indonesia
Senin, 15 November 2010, Majalah Tempo menerbitkan edisi terbarunya kala itu. Seperti biasa, Catatan Pinggir karya Wartawan Senior Tempo, Goenawan Mohammad kembali tersaji di lembar majalahnya. Tapi edisi Majalah Tempo dan Catatan Pinggir Goenawan Mohammad waktu itu sungguh luar biasa bagi saya. Des Alwi, Tetua di Banda Naira menjadi topik Catatan Pinggir.
Bermodal nekat dan sisa uang di kantong khas Mahasiswa rantau, saya bertekat untuk membeli Majalah Tempo edisi Senin itu. Berjarak sekira 1km dari tempat kos, tepatnya di pertiggaan Tello tempat Tugu Adipura Makassar berdiri megah waktu itu, saya menjumpai penjual koran dan majalah. Apa yang saya cari akhirnya saya dapat. Majalah Tempo edisi Senin, 15 November 2010.
Tahun itu telah lama berlalu, tapi Catatan Pinggir tentang Des Alwi pastinya akan tetap tersimpan rapi. Lewat blog ini, saya mencoba untuk menyajikannya kepada para Pembaca. Berikut Catatan Pinggir Goenawan Mohammad yang berjudul Des.
Des Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam miniatur yang padat. Juga berwarna-warni. Jika kita lihat lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur 100 tahun yang menaungi halaman hotelnya di Bandaneira, jika kita ingat sosok yang tambun tinggi itu sudah ada di tempat itu pada 1936 dan, sebagai anak kecil, melihat Hatta dan Syahrir jadi orang buangan yang turun dari kapal dengan paras pucat, kita bisa iri kepadanya: begitu banyak yang telah dilihatnya, begitu beragam pengalamannya, begitu pas ia di pulau Maluku itu. Begitu “Indonesia”.
Des Alwi seperti Bandaneira: elemen yang sering tak diingat, tapi saksi penting dari riwayat Indonesia—dalam hal ini Indonesia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. “Di sini,” kata Rizal Mallarangeng, yang telah dua kali ke Bandaneira dengan rasa kagum kepada para perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau itu, “bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.” Dia benar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya.
Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa dipatahkan; di sini kontingen orang Portugis terus-menerus diserang hingga mereka batal membangun sebuah benteng. Hampir seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda mencoba memperkuat Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut “orang kaya”, membunuh laksamana asing itu dengan segenap stafnya.
Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke-20: para penentang VOC (kemudian Hindia Belanda) diasingkan ke sini silih berganti. Kita tahu sebabnya: pada mulanya adalah rempah-rempah, terutama pala, yang di dunia hanya ditemukan di Banda, yang menggerakkan perdagangan internasional paling awal, seperti minyak bumi di zaman ini. Dan bersama perdagangan, datang peradaban. Juga kebiadaban.
Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku di abad ke-16, letak Banda yang kaya rempah itu dirahasiakan para saudagar Arab (atau “Mur”) yang membawa barang berharga itu ke Eropa. Kemudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian Belanda dan Inggris. Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari jual-beli pala, bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan.
Di Bandaneira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante itu ada sebuah sumur di sepetak halaman. Di sanalah, 8 Mei 1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen (Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka disewa untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Tubuh ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deretan tiang.
Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau itu sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon, Serang, Blitar. Di abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal: Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Syahrir.
Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tampak berbeda: kita tak akan mengatakan bahwa yang berlangsung selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350 tahun penjajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500 tahun perlawanan. Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927 di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta, dan Syahrir—orang-orang hukuman yang mengubah hidup Des—mungkin saksi terakhir dari rangkaian perjuangan panjang itu. Saya menyadari itu ketika sore itu saya dan beberapa teman duduk di dekatnya, mendengarkan ceritanya, di petak atap Benteng Belgica yang berumur 400 tahun. Seakan-akan di sore itu, sejumlah abad bertemu.
Benteng yang menjulang hitam di bukit ini dibangun Belanda pada 1611. Letaknya dipilih pada posisi yang bisa mengawasi seantero selat dan laut. Sejak didirikan, empat menara pengintainya menyaksikan armada-armada Eropa datang, meriam-meriam ditembakkan, destruksi dan pembunuhan berkecamuk: 200 orang Belanda dihabisi pasukan Inggris di Pulau Ai pada 1615, ratusan orang Inggris dibantai Belanda sebagai pembalasan. Dari sini pula tampak kapal-kapal Inggris meninggalkan Pulau Run setelah pulau itu ditukar-guling dengan Pulau Manhattan milik Belanda di New York pada 1667. Tapi seratus tahun lebih kemudian, pada 1810, marinir Inggris merebut Benteng Belgica.
Abad demi abad, energi dicurahkan, dan uang diperebutkan dengan gigih dan ganas hingga dunia berubah. Kekuasaan pun tegak dan runtuh, kemerdekaan ditindas atau dilahirkan….
Hari mulai gelap ketika Des berkisah tentang kemerdekaan yang dicoba digagalkan tapi dilahirkan kembali: Indonesia yang tak mudah. Des bukan sejarawan, bukan pula pelaku utama, tapi—dan ini lebih menarik—ia saksi yang terlibat. Jika kita baca bukunya yang baru, Friends and Exiles, yang diterbitkan Cornell University, kita dapatkan bukan saja kisah kelahiran Indonesia, tapi juga kisah seorang yang “menjadi Indonesia”, sejak dari darah dan dagingnya, sampai dengan ketika ia terlibat, sengaja atau tidak, dalam peristiwa-peristiwa besar yang mengguncang dan membentuk tanah airnya.
Des Alwi Baadila—yang orang tuanya berdarah Cina dan “Mur” (nama “Baadila” ditemukan di Maroko dan Spanyol), yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Syahrir, yang masa mudanya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November 1945—adalah contoh bahwa Indonesia “men-jadi” dengan riwayat seperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa meletup, tapi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak tentang “luar” dan “asing”. Kecuali ketika yang “luar” dan “asing” itu menegaskan diri dengan senjata dan pemaksaan. Dan kita melawan.
Sumber Utama: Majalah Tempo edisi Senin, 15 November 2010
Sumber Lainnya: Catatan Pinggir
COMMENTS